(26 April 2012)
Hari ini saya bertemu teman lama, teman dari masa smp.
Ketemunya di angkot, waktu pulang kuliah.
Okee, bukan ketemu juga sich istilahnya, lebih tepatnya melihat.
Kita berdua berada di angkot yang sama tapi tidak saling menyapa. Lucu bukan?
Bagaimana dua orang yang dulunya dekat, sekarang nampak begitu jauh walau sebenarnya
ada di dalam jangkauan.
Dia sudah lebih dulu berada di dalam angkot, saya naiknya
belakangan tapi tidak memperhatikan orang-orang yang ada didalamnya. Saya baru
melihat dia saat dia turun dari angkot dan membayar ongkosnya. Belum sempat
saya menyapa, kendaraan ini sudah kembali melaju. Saya hanya sempat menangkap
ekspresi wajahnya, sebuah kelegaan. Seperti merasa legah, mungkin karena angkot
yang sesak ini cukup membuat badannya pegal, mungkin dia baru saja terbebas
dari sesuatu yang membuatnya tidak nyaman. Entah..
Btw disini kita sebut saja dia snoopy, dia ini anak cowok.
Di sekolah tidak begitu populer, prestasinya juga biasa2 saja. Tipe cowok kuper
dan penyuka komik. Ini adalah kali pertama kami bertemu (baca: saling melihat)
setelah kita lulus dari smp yang sama.
Dia memakai seragam salah satu supermarket yang cukup besar,
nampaknya dia baru pulang dari pekerjaannya. See? People changes, life’s
changes!
Saat mengenalnya dulu saya tidak pernah membayangkan seperti
apa kita akan bertemu lagi, sebagaimana anak smp dengan pemikiran kecilnya saya
hanya mengenal dia yang menggunakan seragam putih biru, dan kemana-mana membawa
ransel. And now?
Time changes everything :)
Pertemuan tersebut membuat saya kembali mengingat kejadian
beberapa tahun lalu, kejadian waktu kelas 3 smp. Saya dan si snoopy waktu itu
sekelas.
Kebiasaan saya adalah tidak penah membawa dompet dikantong,
saya selalu meletakanya didalam tas. Bahkan pada jam istirahatpun, ya saya
tinggal di kelas.
Tidak ada prasangka apa-apa, namun saat kembali ke kelas
saya tetap menyempatkan untuk memeriksa isi didalam tas. Dompetnya masih ada namun
ternyata ada yang kurang dari isinya. Seingat saya didalam dompet ada 2 lembar
uang Rp.100.000 dan beberapa lembar uang pecahan Rp.20.000 dan Rp.10.000. Tapi uang
seratus ribuan tinggal satu lembar.
Apa jatuh? Apa saya pakai untuk jajan ya? Pikir saya dalam
hati mencoba mencari penjelasan sendiri. Tapi pikiran-pikiran itu langsung
terbantakan mengingat saya bukan tipe anak yang suka jajan di sekolah, apalagi
sampai menghabiskan uang segitu banyaknya. Ditambah dompetnya ditinggal di tas,
sebelumnya sempat saya cek masih lengkap, jadi tidak mungkin jika saya menjatuhkannya.
Diselimuti panik saya sempat teriak kecil untuk menyampaikan
ke teman-teman saya kehilangan uang. Beberapa teman yang waktu itu ada di dalam
kelas, langsung menatap saya. Mereka ikut-ikutan panik. Saat itu cuma ada satu
kemungkinan yang terpikir, mungkin dicuri.
Teman-teman menyarankan saya untuk melaporkan ini kepada
guru. Tapi saya sendiri masih ragu, masih mencoba menganalisis masalah ini
sendiri. Saya sendiri bukan tipe orang yang suka membesarkan masalah. Ditambah
melaporkan kepada guru bukanlah ide yang baik mengingat salah satu guru disini
adalah tetangga saya. Pastinya masalah ini akan sampai ke telinga orang tua
saya. Well, bukan itu yang saya mau.
Dibantu sepupu yang kebetulan juga sekelas dengan saya, kami
mencoba mencari. Berharap uang tersebut hanya terselip atau lupa ditaruh. Cukup
lama kami mencari namun tidak berhasil menemukannya. Kamipun memutuskan untuk
menggeledah isi tas teman-teman, dengan sepersetujuan teman-teman tentunya.
Kebetulan waktu itu ada beberapa teman yang waktu jam
istirahat tetap berada didalam kelas. Diantaranya ada si snoopy dan
kawan-kawannya. Setelah menggeledah isi tas beberapa teman dan tidak menemukan
apa-apa, saya dan sepupu saya sekarang menggeledah si snoopy dan geng kupernya.
Diantara mereka memang ada anak yang dicurigai teman-teman di sekolah sebagai
seorang klepto. Dicek tasnya tidak ada, dikantong juga tidak ada.
Kami hampir menyerah sebelum akhirnya saya mengeluarkan ide
gila
“sepatu..coba buka sepatunya”. Saya menyuruh si snoopy dkk
untuk membuka sepatunya.
“eh, tapi saya simpan uang saya di sepatu yaa..yang ini uang
saya” binggo!
Dengan gugup, sebelum sempat membuka sepatunya si snoopy
mengeluarkan statement. Seolah-olah ingin mengatakan jika apapun yang kita
temukan disepatunya bukanlah apa yang kita cari.
Benar saja, di sepatunya ditemukan selembar uang Rp.100.000.
Saya langsung mengklaim itu uang saya. Namun dia menyangkal dan mengatakan bahwa
itu uangnya. Sampai beberapa lama dia masih teguh dengan pernyataanya tersebut.
Disini terjadi adu statement antara saya dan si snoopy.
“Siapa tahu itu memang uangnya dia, jangan langsung membuat
kesimpulan” kata seorang teman wanita mencoba mencairkan suasana.
Yes i know! Uang memang dicetak banyak kawan, dan mirip
semua.
Tapi saya cukup mengenal uang yang lama menghuni dompet saya
tersebut.
Ditambah mukanya yang merah, penuh keringat. Cukup
meyakinkan saya itu benar uang yang dia ambil dari dompet saya. Lagian, di
sepatu? Serius? Apa itu kebiasaan baru? Mungkin tidak di suatu restoran entah
dimana setelah makan dia akan membuka sepatunya lalu berkata “tenang, kali ini
saya yang traktir”
Dia kelihatan sangat gugup, matanya mulai berkaca-kaca. Semakin
terlihat dia tidak bisa lagi mengelak. Beberapa teman termasuk sepupu saya
menyarankan untuk sebaiknya melaporkan masalah ini kepada guru.
“Sekarang sebaiknya begini, kamu mengaku saja. Saya tidak
akan melaporkan ini kepada guru” saya mencoba menenangkan si snoopy yang
semakin terlihat salah tingkah.
Lagipula saya hanya menginginkan uang tersebut kembali, dan
tidak ingin dimarahi orang tua jika sampai mereka tahu saya kehilangan uang. Saya
tahu jika terbukti mencuri, dia bisa dihukum cukup berat. Waktu kelas dua, ada
teman sekelas saya yang langsung dikeluarkan karena terbukti mencuri di
sekolah. Walupun itu mungkin pantas untuk snoopy, tapi itu tidak adil untuk
orang tuanya. Orang tua yang sudah bersusah payah memasukan anaknya ke sekolah
yang cukup populer ini. Bagi saya Rp.100.000 adalah harga yang sangat tak
pantas untuk membayar jeripayah orang tuanya tersebut.
Dia hanya bisa menunduk menutup mukanya diatas meja. Tidak
lagi berani menatap saya atau menatap siapapun. Kediamannya itu cukup saya
anggap sebagai “iya, itu uang kamu”
Saya langsung berhasil menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
muncul di dalam hati, kenapa dia hanya mengambil selembar uang tersebut? Kenapa
tidak semuanya sekalian? Agar mudah disembunyikan?
Tidak juga, mungkin yang dia butuhkan ya hanya sejumlah itu.
Dia hanya mengambil apa yang dia butuhkan. Mungkin untuk komik terbaru? Bisa
jadi. Nampaknya masih ada rasa kasihan darinya, dia tidak berani mengambil
semuanya. Dia mungkin berpikir, jika dia membutuhkan uang, pastinya saya juga.
Seharusnya saya bisa merelakan saja, sejujurnya disaat itu saya tidak begitu
membutuhkannya. Apa boleh buat, saya terlalu takut dimarahi orang tua. Bagi
anak smp Rp.100.000 bukanlah angka yg kecil.
Saya bisa langsung memahami keadaan disaat itu, tapi ada
satu pertanyaan yang tersisa sampai saat ini. Pertanyaan yang belum saya
temukan jawabannya; Kenapa begitu sulit bagi kita untuk bisa merelahkan?
Hari ini entah apa karena dia masih tidak berani menatap
saya, atau mungkin dia sudah melupakannya, bahkan melupakan wajah ini. Wajah
yang pernah membuat dia malu diantara teman-teman. Entahlah, mungkin yang saya
lakukan sudah benar. Mungkin juga salah, mungkin saya tidak perlu seheboh itu saat
kehilangan uang, mungkin saat itu saya tidak perlu menekan orang lain, mungkin
saat itu yang terbaik adalah merelakan uang itu hilang.
Entahlah..
Dimata kita mungkin kita melakukan yang benar. Dimata orang
lain itu bisa saja salah. Intinya, bahkan jika semua yang kamu lakukan adalah benar
terkadang kamu bisa menyakiti orang lain didalamnya. That’s what we called
“LIFE”
Mungkin kita perlu belajar merelahkan, dan melupakan.
Terkadang
Itu bukanlah hal yang buruk :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar